Saya mengibaratkan teater sebagai tubuh manusia dan itu barangkali dapat menjadikan teater sebagai sesuatu yang lumrah dan akrab bagi kita.
Kita tahu bahwa tubuh kita bukanlah “barang jadi”. Ia senantiasa membutuhkan pengelolaan, penghidupan sendiri, dari awal hingga akhir. Semenjak kita lahir hingga kita tutup usia, bahkan ia terus bergulir: tumbuh dan berawal dari unsur renik lalu kembali ke unsur renik secara biologis dan kimiawi. Berbagai penamaan,
berbagai kepentingan, berbagai makna, hingga berbagai material yang menerpa tubuh kerap mengalami perubahan, perkembangan dari hari ke hari. Tak elak, tubuh tak pernah mengalami keutuhan yang langgeng, ia fana, setidaknya sepanjang hirup nafas dan detak jantung masih bisa kita rasakan hingga saat ini.
Kita tahu pula bahwa tubuh kita senantiasa dibangun oleh operasi organ-organ yang bekerja secara bergantian, simultan, dan sangat jarang mengalami bentrokan dalam operasi(gerak)nya ketika beraktivitas dengan tujuan tertentu. Ketika berjalan, tubuh selalu menyelaraskan organ yang mendukungnya: kaki kiri dan tangan kanan di belakang, kaki kanan dan tangan kiri di depan. Ketika makan, tangan mengangkat sendok, mulut terbuka, dan mata menatap sambal yang berkilatan di dalam sebuah mangkuk. Kemudian, meneteslah liur yang hangat dan kental itu sebelum kita mengecap kepedasan sambal. Setiap operasi tubuh kita selalu bekerja bersama melalui tahapan yang ...............
-